Friday, March 13, 2015

Sebuah catatan dari teman lama

Kau Memang Komang
R. Aria Somantri

Dari sekian banyak kalimat yang biasa diucapkan setiap kali melewati jalan Legian, umpatan dan makian adalah kalimat yang paling sering aku lontarkan. Aku benci keramaiannya, aku benci bisingnya, dan aku benci kemacetannya.
Hampir tak pernah jalan kecil yang menyandang nama jalan raya itu sepi. Selalu saja diramaikan bukan hanya oleh kendaraan, tetapi juga lalu lalang manusia bermacam ras yang saling berinteraksi tanpa pernah mau mempedulikan pemakai jalan yang lain, membuat kemacetan semakin menambah runyam isi kepala.
Yes, mate!” Itu teriakan khas sebagian besar warga lokal, penduduk Indonesia asli yang menempati trotoar sepanjang jalan, menawarkan apa saja kepada manusia lain ras yang berjalan-jalan. Aku tidak tahu apa saja yang bisa ditawarkan kepada para pendatang yang sebagian besar berkulit putih dan berambut pirang di sepanjang jalan ini. Dari hal terkecil sampai hal terbesar sepertinya bisa ditawarkan dan dijadikan lahan keuntungan.
Yes, massage?” Sebagian besar perempuan lokal yang duduk-duduk atau berdiri di badan trotoar sepertinya sudah terlalu hafal bagaimana mengucapkan kata-kata itu. Mereka mengucapkannya hampir setiap saat, dari pagi sampai siang, dari siang sampai sore, dari sore sampai malam, dan dari malam sampai pagi lagi.
Setiap hari aku melewati jalan itu. Sebenarnya sangat tidak layak untuk disebut sebagai jalan raya karena ukurannya terlalu kecil. Jumlah kendaraan yang melewatinya jauh dari batas kapasitas yang bisa ditampungnya, juga keriuhan manusia yang bolak-balik diatas trotoarnya, membuat jalan itu lebih sering kusebut sebagai jalan tikus, tentu saja tidak ada satu manusia pun yang lewat di jalan itu mau kuanggap sebagai tikusnya.
Di jalan itu aku bertemu Komang, di jalan itu aku mengenal Komang, dan di jalan itu pula aku mengingat semua detik yang pernah aku lewatkan bersama Komang. Gadis Bali berambut panjang dengan warna kulit gelap itu menyisakan banyak jejak di dalam perasaan dan pikiranku, bahkan setelah cukup lama waktu terlewat, dan aku tidak pernah lagi melihat sosoknya di jalan tikus Legian. Maksudku, jalan raya Legian.
“Kenapa Komang?” Tanya beberapa orang kepadaku. Jumlah mereka bisa kuhitung dengan jari, tapi terasa terlalu banyak bagiku ketika jumlah manusia yang sedikit itu terus menerus mengajukan pertanyaan yang sama, menghasilkan bunyi-bunyian serupa dari mulut mereka yang tentu saja bentuknya tidak ada yang sama.

“Memangnya kenapa kalau bukan Komang?” Aku balik bertanya, dan hingga sosok gadis itu benar-benar menghilang dari ingatanku, tidak ada satu orang pun yang benar-benar bisa menjawabnya.

No comments:

Post a Comment