Kau Memang Komang
R. Aria Somantri
Dari sekian
banyak kalimat yang biasa diucapkan setiap kali melewati jalan Legian, umpatan
dan makian adalah kalimat yang paling sering aku lontarkan. Aku benci
keramaiannya, aku benci bisingnya, dan aku benci kemacetannya.
Hampir tak
pernah jalan kecil yang menyandang nama jalan raya itu sepi. Selalu saja
diramaikan bukan hanya oleh kendaraan, tetapi juga lalu lalang manusia bermacam
ras yang saling berinteraksi tanpa pernah mau mempedulikan pemakai jalan yang
lain, membuat kemacetan semakin menambah runyam isi kepala.
“Yes, mate!”
Itu teriakan khas sebagian besar warga lokal, penduduk Indonesia asli yang
menempati trotoar sepanjang jalan, menawarkan apa saja kepada manusia lain ras
yang berjalan-jalan. Aku tidak tahu apa saja yang bisa ditawarkan kepada para
pendatang yang sebagian besar berkulit putih dan berambut pirang di sepanjang
jalan ini. Dari hal terkecil sampai hal terbesar sepertinya bisa ditawarkan dan
dijadikan lahan keuntungan.
“Yes, massage?”
Sebagian besar perempuan lokal yang duduk-duduk atau berdiri di badan trotoar
sepertinya sudah terlalu hafal bagaimana mengucapkan kata-kata itu. Mereka
mengucapkannya hampir setiap saat, dari pagi sampai siang, dari siang sampai
sore, dari sore sampai malam, dan dari malam sampai pagi lagi.
Setiap hari
aku melewati jalan itu. Sebenarnya sangat tidak layak untuk disebut sebagai
jalan raya karena ukurannya terlalu kecil. Jumlah kendaraan yang melewatinya
jauh dari batas kapasitas yang bisa ditampungnya, juga keriuhan manusia yang
bolak-balik diatas trotoarnya, membuat jalan itu lebih sering kusebut sebagai
jalan tikus, tentu saja tidak ada satu manusia pun yang lewat di jalan itu mau
kuanggap sebagai tikusnya.
Di jalan
itu aku bertemu Komang, di jalan itu aku mengenal Komang, dan di jalan itu pula
aku mengingat semua detik yang pernah aku lewatkan bersama Komang. Gadis Bali
berambut panjang dengan warna kulit gelap itu menyisakan banyak jejak di dalam
perasaan dan pikiranku, bahkan setelah cukup lama waktu terlewat, dan aku tidak
pernah lagi melihat sosoknya di jalan tikus Legian. Maksudku, jalan raya
Legian.
“Kenapa
Komang?” Tanya beberapa orang kepadaku. Jumlah mereka bisa kuhitung dengan
jari, tapi terasa terlalu banyak bagiku ketika jumlah manusia yang sedikit itu
terus menerus mengajukan pertanyaan yang sama, menghasilkan bunyi-bunyian
serupa dari mulut mereka yang tentu saja bentuknya tidak ada yang sama.
“Memangnya
kenapa kalau bukan Komang?” Aku balik bertanya, dan hingga sosok gadis itu
benar-benar menghilang dari ingatanku, tidak ada satu orang pun yang
benar-benar bisa menjawabnya.
No comments:
Post a Comment