Gerbong
Kereta Senja Jogja-Surabaya
Di
stasiun yang begitu padat pengunjung, aku terdesak dari pintu peron tempatku
semula, begitu dahsyatnya gesekan manusia-manusia ini hingga aku jauh terbawa
arus dan sempat kehilangan tas yang telah kucangklong dipundak. Beruntunglah
tak lama kemudian tas merahku telah kembali digenggamanku, rupanya masih ada
orang baik disekitarku yang peduli dan perhatian, tapi sayangnya aku tak sempat
menyampaikan trima kasihku pada orang yang telah menyelamatkan tas kesayanganku
itu karena dia telah lenyap begitu saja. “Seperti malaikat saja” Batinku,
sambil tersenyum sendiri melangkah menuju peron kembali.
Kereta
yang kutunggu telah tiba, aku bergegas naik menuju gerbong sesuai yang tertera
pada tiket yang kupegang. Baru sampai aku pada tempat duduk yang kutuju,
teriakan –teriakan dari sekitarku mengagetkanku kembali, aku sedikit tersungkur
namun segera dapat menguasai diri kembali. Saat aku mulai merapikan tas ransel
yang terjatuh dari punggungku, seorang nenek tua menghampiriku dan mengatakan
beberapa kalimat yang sama sekali tak kumengerti, beruntunglah gadis kecil cucu
sang nenek yang ternyata duduk berseberangan denganku segera menghampiriku, dan
menjelaskan bahwa ada laki-laki dibelakang yang telah menyelamatkan aku dari aksi
pencopet yang tadi mendorongku. Aku bersyukur ternyata aku lagi-lagi telah
diselamatkan, “Trima kasih cantik” Ucapku saat gadis kecil itu berlalu.
Kulirik
kursi belakang, tak nampak seorang laki-laki yang disebut gadis kecil tadi,
hanya ada beberapa ibu-ibu cantik, dua anak kecil dengan dua pasang kakek nenek
diseberangnya. “Ah.. mana orang yang menolongku” Gumamku dalam hati dengan
sedikit rasa penasaran. Namun rasa penasaranku terkalahkan oleh lelahku,
beruntung kursi disebelahku tak terisi, kucari posisi ternyaman untuk
perjalanan menuju Surabaya yang pasti cukup akan melelahkan bagiku.
Masinis
kereta membangunkan aku dari tidur, “Cek ticket mbak” Ucapnya. Baru kusadari
ternyata ticket yang diminta ada didalam tas ransel yang kuletakkan dibagasi
atas tempat duduk, dan saat aku hendak berdiri telepon genggam yang sebelumnya
ada di pangkuanku terlempar ke arah belakang melewati kolong bawah bangku, begitu
sial terus aku hari ini. Namum urusan dengan masinis segera kuselesaikan.
Sedikit cemas aku mencari telepon genggamku dibangku belakang, khawatir
terlempar jatuh sampai keluar kereta, sebab bangku yang kududuki lumayan tak
jauh dari pintu belakang gerbong.
Kucoba
menanyakan pada ibu yang duduk persis di belakang kursiku, namun tak sempat
beliau menjawab, anak kecil yang duduk disebelahnya mengatakan kalau telepon
milikku terlempar ke belakang sambil menunjuk bangku paling ujung dari gerbong
yang kami naiki.” Trima kasih ya sayang” Ucapku untuk sikecil. Dengan sedikit
berharap semoga hand phone itu bisa
kutemukan, aku menuju bangku paling belakang gerbong. Tampak duduk seorang
lelaki dengan wajah misterius dan berkaca mata hitam sedang menggenggam
teleponku, “Alhamdulillah..” aku berseri menerima benda kecil itu dari
tangannya. “Trima kasih banyak mas” Kataku sambil kuhafal wajahnya. Ketika aku
berbalik ada suara tegas yang menahan langkahku, “Lain kali hati-hati” Ujarnya
dan hanya kubalas senyum.
Kembali
kunikmati hamparan sawah diujung senja sore menjelang malam. Lukisan tuhan
diatas awan membentuk aurora kuning kemerahan menciptakan keindahan yang luar
biasa. Kejadian-kejadian yang kualami hari ini sungguh membuat aku lebih
bersyukur, hanya karena kehendak tuhan aku terbantu oleh banyak orang, hingga
aku bisa selamat melalui semua kejadian yang lumayan menakutkan bagiku.
Tiba-tiba
kereta berhenti disebuah stasiun yang lumayan besar, sayangnya aku belum sempat
mengetahui distasiun mana keretaku berhenti kereta telah bergerak kembali. Naik
turunnya penumpang di stasiun ini membuat aku harus waspada, aku tak mau
kejadian-kejadian seperti yang tadi kualami terulang kembali. Sepertinya lebih
banyak penumpang yang naik kegerbong kami, dari pada yang turun, sesaat gerbong
ini terasa sangat sesak dan ramai, untunglah semua harus duduk sesuai nomor
bangku pada ticket. Kekhawatiranku sedikit terurai saat seorang ibu menuju
kearah tempat duduk disebelahku. Sayangnya tampak sebaliknya, diraut wajahnya nampak
kecemasan akan putranya yang belia, yang harus duduk terpisah dengannya. Berulangkali
dia menoleh kearah bangku belakang. Seingatku bangku kosong dibelakang tempat
kami ini, hanyalah bangku paling belakang gerbong tempat laki-laki misterius
itu duduk.
Akhirnya
kuputuskan untuk mengalah dan memberi tempat untuk anak ibu yang duduk dibangku
belakang agar bisa pindah disamping ibunya. Senang melihat wajah lega dari ibu
tadi. Dan tanpa berlama-lama aku segera mengambil tas ransel yang ada dibagasi
atas bangku kami. Masinis yang sedang memeriksa ticket baru membantuku
memindahkan tas itu ke bangku belakang yang aku tuju,beruntung pula beliau
mengijinkan perpindahan kami.
Lelaki
berkacamata hitam itu telah menyiapkan tempat aku duduk disamping jendela,
lagi-lagi aku merasa beruntung mendapat posisi duduk favoritku. Tanpa kusadari
tas ransel yang tadi dibawa oleh bapak masinis sudah berada didalam bagasi, aku
melirik dia sambil tersenyum. Tak banyak kata selama hampir satu jam sejak kami
duduk berdua, hanya sesekali kulihat dia yang asik membaca buku hitam
ditangannya, persis seperti pakaian yang dia pakai.
Sebenarnya
jauh dalam hati aku merasa mengenal sosok lelaki disampingku ini, delapan tahun
yang lalu terakhir aku bertemu dengan sosok yang amat mirip dengan penampilannya.
Dari perawakan kecilnya, dari angkuh dan suaranya, aku merasa sangat akrab. Hingga
tak terlintas sedikitpun kekhawatiranku untuk memilih duduk disebelahnya meski
dia tampak misterius sejak awal. Tiba-tiba dia menoleh kearahku yang sedari tadi
memperhatikannya, bergegas aku memalingkan wajahku kearah jendela. Sayangnya
hanya nampak pemandangan hitam, rupanya mendung sedang menutup wajah rembulan
malam ini.
Semangatku
kembali saat ada penjajah minuman hangat menawarkan dagangannya, harum kopi susu
yang dijajakan merayu penciumanku. Kubeli dua gelas kopi susu dari merk yang
memang jadi kesukaanku. Satu gelas kuberikan untuk teman dudukku ini, dan
dengan sedikit basa-basi kutanyakan apakah dia suka dengan rasa kopi susu itu.
“Lumayan” Jawabnya, tanpa menolehku sama sekali. “Tapi tak senyaman kopi
buatanmu pasti..,” Lanjutnya. Aku benar-benar terkejut saat mendengar kalimat
yang paling panjang dia ucapkan semenjak kami bertemu sehari ini. “Buatanmu..?”
Aku bertanya dengan nada yang sangat bingung, karena betul-betul tak mengerti
buatan siapa yang dia maksud. Akhirnya dia memandangku dan sekali lagi
mengatakan “Ya buatanmu lah..!, masa kamu nggak bisa mengartikan kata-kataku”,
Ucapnya sekali lagi.
Baru
kulihat jelas sekarang wajahnya, dan aku semakin yakin kalau dia adalah orang
yang benar-benar aku kenal sepuluh tahun yang lalu. Tiba-tiba dia berubah jadi
lumayan cerewet. “Apa aku sudah sangat berubah hingga..?” Pertanyaannya
berhenti begitu saja. “Bukannya kamu berubah tapi aku hanya takut salah mengenali
sebab...” Kali ini aku yang benar-benar kehilangan kata.
Kali
ini aku melihat dia tersenyum sambil mengetik sesuatu ditelepon genggamnya, dan
seketika itu pula teleponku juga bergetar.Tampak satu pesan muncul dari sebuah
kontak nama yang telah lama tak pernah kulihat lagi dilalu lintas obrolanku.
“(X)” Tanda khas milik seorang kawan yang delapan tahun ini cukup aku rindukan
meski tak pernah lagi aku nantikan. Kubalas peasan itu dengan mengirim “(.)”
seperti biasa saat aku menjawab pesan-pesannya seperti waktu-waktu dulu, dan
telepon digenggamannyapun bergetar. Sesaat tawa kami pecah, dinginnya malam
digerbong kami sudah tak terasa lagi. Cerita-cerita mengalir begitu saja dengan
perdebatan-perdebatan yang cukup panjang. Persis saat dulu ketika kami masih
saling berbincang, saling mengolok, bercanda, diskusi hal-hal kecil tentang
puisi, novel sampai urusan negara.
Tepat
pukul 22.00Wib malam itu kereta berhenti ditujuan akhir perjalanannya. Berbeda
dengan saat naik, aku tak lagi bergegas turun, melainkan menunggu semua
penumpang dari gerbong kami turun. Rasa takut sudah hilang, yang ada rasa cemas
akan kembali berpisah dengan teman dudukku yang sedari tadi setia menjadi
pelindungku dari berbagai kejadian yang menimpaku seharian.
Dengan
sigap dia menenteng tanganku saat turun dari kereta. Tas ranselku aman
digenggamanya. Saat kami tiba dikursi rest
area dia menanyakan tujuanku setelah sampai di kota transit ini.”Langsung
pulang..?” Tanya dia. Aku hanya tersenyum, aku yakin dia sudah tau tujuanku
selanjutnya. Sesaat kemudian dia kembali meraih tasku, dan segera beranjak dari
tempat duduk kami. Aku segera mengikuti langkahnya, dalam hati kusampaikan
trima kasihku pada tuhan atas semua yang kualami sehari ini. Mudah-mudahan akan
banyak kebahagiaan setelah hari ini, gumamku dengan melangkah pasti.
No comments:
Post a Comment